Memahami Orang Lain

Aku sering melontarkan pertanyaan kepada sahabat-sahabatku :

”Lebih sulit mana memaksa diri sendiri agar bisa memahami orang-orang lain, atau memaksa orang lain untuk memahami diri kita?”

Seratus persen mereka menjawab lebih sulit yang kedua : memaksa orang lain untuk memahami diri kita.

”Benarkah…?? Jawabanmu berdasarkan logika, atau pengalaman?” itu pertanyaan susulan yang selalu kuajukan bila mereka sudah memilih. Ada yang nyengir, ada yang berpikir serius sampai mengernyitkan kening, ada pula yang ngeloyor pergi, mungkin menganggap pertanyaanku tidak penting untuk ditanggapi lebih jauh.

Memang benar, secara logika paling mudah memaksa diri sendiri agar bisa memahami orang lain, banyak orang, semua orang. Untuk memahami orang lain kita hanya perlu mengubah cara berpikir, pikiran kita sendiri, mengubah cara merasa, perasaan kita sendiri. Sedangkan untuk memaksa orang lain agar memahami diri kita, kita harus mempengaruhi mereka, memasukkan kemauan kita ke pikiran mereka, dan banyak tindakan interaksi persuasif dengan mereka. ribet khan?

Tetapi dalam prakteknya ternyata banyak orang yang tidak mau melakukan pilihan pertama. Mereka lebih cenderung memaksa orang lain untuk memahami diri mereka. Dan yang lebih parah lagi, mereka enggan melakukan tindakan-tindakan persuasif agar orang lain mau memahami mereka. Mereka tidak mau tahu, pokoknya orang harus mau menerima mereka apa adanya.

”Aku ya begini, terserah suka atau tidak suka!”

”Pokoknya mauku begini, terserah orang lain mau apa!”

”Harusnya mereka tahu dong apa mauku!”

Itulah yang menjadi pangkal segala konflik dalam masyarakat. Mulai konflik rumah tangga sampai konflik di parlemen, bahkan antar negara. Suami tidak mau memahami istri, dan sebaliknya. Para wakil rakyat tidak mau memahami kemauan rakyat yang diwakilinya, atau sebaliknya rakyat yang dibela tidak mau memahami niat baik para wakilnya di DPR.

”Kalau kita selalu memahami orang lain, berarti kita tidak punya prinsip dong!”

Itu pikiran keliru. Justru dengan memahami orang lain, kita lebih mudah mendapatkan apa yang kita inginkan. Kenapa harus ngotot bila dengan mengalah kita bisa mencapai tujuan lebih cepat dan baik.

Memang ada beberapa hal yang tidak mungkin atau tidak bisa kita terima dari kemauan orang lain. Yaitu bila antara kemauan kita dan orang lain sudah sangat berseberangan, dua sisi mata uang. Selama kita yakin bahwa kita berada pada sisi ”baik”, kita harus memperjuangkannya. Tetapi kita harus yakin dan jelas tentang batasan ”baik”: bagi siapa?

Semoga aku sendiri tidak termasuk yang melakukan pilihan pertama : menulis asal kemauanku sendiri, tanpa berusaha memahami apa yang diinginkan sahabat-sahabatku pembaca Blog.

* Tulisan yang berhubungan:Aku


3 thoughts on “Memahami Orang Lain

  1. ah jadi ingat steven covey dengan 7 habitnya – kebiasaan ke 6 – seek to understand = berusaha memahami orang lain sebelum kita ingin dipahami orang lain tapi untuk bisa kesitu – menurut covey seseorang harus kuat di 3 kebiaasaan pertama – Pro Aktif, Memulai dari yang akhir, dan Dahulukan yang utama..

    dan ke 3 kebiasaan pertama itu ternyata berat – kalau tidak pernah dilatih..

    makasih boleh komen.

    BTW . Pak Ahad besok Sanggarpenulisan pertemuan terakhir… bisa gak bawa modem… sambil ngajari ngeblog sekaligus promo starone :mrgreen:

    [nmd]Siap pak, saya bawakan….

  2. Ehmmmmm…, kayaknya sih lbh susah “memaksa orang lain untuk memahami diri kita?” eh istilahnya jangan “memaksa”lah… mungkin “meminta” lebih pas 😉 berdasar logika atau pengalaman? kayaknya dua-duanya deh :mrgreen: *nunggu pertanyaan susulan*
    kayaknya sih sepele, but great ^^ good post bozz, makes us “rethinking” deeper nih ;p salam kenal yah..

    [nmd] terima kasih kunjungannya… 🙂

Tinggalkan komentar